LEGISLATIF

Putusan PN Jakpus Minta Pemilu Ditunda, Supriansa: Rusak Tatanan Demokrasi

0
Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM DPP PartaAnggota Komisi III DPR dari Partai Golkar, Supriansa,(tengah).

Berita Golkar – Anggota Komisi III DPR dari Partai Golkar, Supriansa menyoroti putusan PN Jakarta Pusat (Jakpus) yang meminta KPU menunda tahapan Pemilu dan memulainya dari awal. Putusan PN Jakpus terkait gugatan Partai Prima.

“Putusan tersebut merusak tatanan demokrasi Indonesia karena melanggar ketentuan UUD NRI Tahun 1945,” ujar Supriansa saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, Jumat (3/3).

Menurut dia, Pasal 7 UUD 1945 berbunyi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Lalu dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 berbunyi Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

“Pada kedua pasal tersebut tegas membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif selama lima tahun dan mengamanatkan bahwa pemilu diselenggarakan dalam waktu lima tahun sekali. Hal ini adalah perintah konstitusi sehingga putusan pengadilan jelas tidak bisa dilaksanakan,” katanya.

Menurut Supriansa, hukuman penundaan pemilu dijatuhkan PN Jaksa pada kasus perdata, seharusnya tidak mengikat semua partai politik

Baca Juga :  Kompetisi Ideal, Golkar Nganjuk: Bukan Saling Menjatuhkan Sesama Caleg di Internal Partai

Gugatan yang diajukan Partai Adil dan Makmur (Prima) merupakan gugatan perdata kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Yang perlu diselesaikan adalah hak keperdataan Partai Prima tersebut, yakni pada tahapan verifikasiadministrasi dan verifikasi factual oleh KPU.

“Putusan PN Jakpus semestinya tidak berlaku umum dan mengikat semua pihak sehingga tidak ada korelasinya dengan melakukan penundaan pemilu secara nasional,” katanya.

Selain itu, kata dia, putusan PN Jakpus merupakan pelanggaran konstitusi dalam system pemilu UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 470 ayat (1) yang berbunyi Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/Kota.

Kemudian, kata dia, dalam Pasal 471 ayat (1) UU Pemilu berbunyi Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470ke pengadilan tata usaha negara, dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467, Pasal 468, dan Pasal 469 ayat (2) telah digunakan.

Baca Juga :  Jusuf Kalla: Pemilu 2024 Diundur Bisa Undang Keributan

“Berdasarkan hal tersebut, dalam sistem penegakan pemilu tidak dikenal mekanisme perdata melalui pengadilan negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu. Hal tersebut harus diselesaikan melalui Bawaslu atau Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi apalagi sampai memerintahkan penundaan pemilu hingga 2025,” tegasnya.

Dia juga mengatakan, PN Jakpus menyalahi sistem keadilan pemilu. Putusan ini tidak bisa dieksekusi (non-executable) karena telah menyimpang dari prinsip-prinsip konstitusionalitas pemilu.

UU Pemilu No 7 Tahun 2017 pasal 432 mengatur, dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.

“UU Pemilu mengenal pemilu susulan tetapi tidak ada klausul bahwa tahapan bisa ditunda karena adanya putusan PN, apalagi PN juga tidak berwenang apapun dalam desain penegakan dan penyelesaian masalah hukum Pemilu di Indonesia,” tukasnya.