DPD GOLKAR

Sistem Pemilu Tertutup, Golkar NTT: Berpotensi Menguatnya Oligarki

0
Sekretaris DPD Partai Golkar NTT, Inche Sayuna.

Berita Golkar – DPD Partai Golkar NTT menyebut sistem pemilu proposional tertutup atau hanya memilih partai politik (parpol), berpotensi menguatnya oligarki di internal partai.

Sekretaris DPD Partai Golkar NTT, Inche Sayuna menyebut sistem proporsional tertutup memiliki beberapa kelebihan, seperti meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol.

“Namun, sistem proporsiaonal tertutup ini juga memiliki beberapa kelemahan, seperti mekanisme pengkondisian pencalonan calon wakil rakyat yang tertutup, memperkuatnya oligarki di parpol internal, dan membuka ruang politik uang di internal parpol dalam bentuk jual beli nomor urut,” kata Inche Sayuna, Selasa 3 Januari 2023.

Dia menjelaskan, sistem proporsional tertutup pernah digunakan pada Pemilu sebelum reformasi yaitu sejak tahun 1955 sampai di orde baru hingga tahun 1999, namun MK memutuskan untuk mengubah sistem pemilihan menjadi sistem proporsional terbuka sejak 2008.

Hal tersebut tertuang dalam putusan MK tanggal 28 Desember 2008. Bila saat ini dilakukan gugatan kembali dengan uji materi, maka terbuka dua kemungkinan dalam pelaksanaan pemilu 2024 nanti.

Jika MK mengabulkan gugatan pemohon, maka Pemilu 2024 bisa dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. Sebaliknya kalau ditolak, maka masih tetap (proporsional) terbuka.

“Kita tunggu saja keputusannya MK. Tapi kalau mau jujur, jika ruang untuk melakukan perubahan terhadap UU Pemilu itu masih dibuka oleh DPR maka sebaiknya proses perubahan sistem pemilu ini dilakukan melalui proses legislasi di DPR,” katanya.

Baca Juga :  BPJ Jadikan Hendra Apollo Wakil Ketua di Kepengurusan Baru Partai Golkar Babel

Menurut dia, sistem pemilihan proporsional tertutup, setiap parpol tetap diminta mengirimkan daftar calon wakil rakyat. Namun, pemilih tidak secara langsung memilih calon.

Lebih lanjut, pemilik hanya diminta untuk memilih tanda gambar atau lambang parpol.

Kandidat dengan nomor urut terkecil dalam suatu partai berhak menduduki kursi pertama di lembaga perwakilan.

Wakil Ketua DPRD NTT ini menerangkan, perubahan yang dilakukan dibagian yudikatif memang dimungkinkan oleh undang-undang, hanya keputusannya bersifat parsial, sedangkan ide perubahan terhadap sistem bersifat keseluruhan, atau bukan parsial.

Kendati tidak ada ruang lagi merubah UU Pemilu, menurutnya, sebaiknya gagasan perubahan sistem pemilu ini disimpan saja untuk dipraktekan pada pemilu setelah 2024.

Sebab, pemilu 2024 saat ini tengah berlangsung atau prosesnya sedang berjalan, sesuai rancangan dari KPU.

Ia khawatir keputusan MK bisa mengacaukan agenda yang sudah dirancang.

“Menurut saya sistem pemilu Proporsional terbuka yang dijalankan sejak pemilu 2009 adalah masih yang terbaik dilakukan oleh Indonesia,” sebutnya.

Walaupun banyak masalah terkait dengan biaya politik yang mahal,  personalisasi caleg dalam kampanye ketimbang partai dan berbagai kelemahan yang dilekatkan pada sistem tersebut, tetapi sampai saat ini sistem proporsional terbuka masih yang terbaik.

Baca Juga :  Ketum Airlangga Akui Golkar dan Projo Sudah Dekat

Dia berkata, sistem terbuka memiliki derajat keterwakilan yang tinggi, karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya.

Ia tidak menampik bahwa wacana tentang perubahan sistem pemilu ini sedang ramai dibicarakan.

Hal itu bermula dari gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dimohonkan sejumlah warga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para pemohon meminta agar MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

“Menurut saya, pilihan terhadap dua sistem pemilu itu masing masing ada plus dan minusnya. Ada keunggulan dan kelemahannya,” katanya.

Indonesia sudah pernah mempraktekan  kedua sistem tersebut dalam pemilu sebelumnya. Pemilih, kata dia, sudah memahami baik dan buruknya kedua sistem tersebut.

Sistem proporsional terbuka memiliki beberapa kelebihan, antara lain terbangunnya kedekatan antara pemilih dan kandidat.

Selanjutnya, pemilih dapat memberikan suara secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya, serta partisipasi dan kontrol publik yang meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.

“Namun, sistem proporsional terbuka juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain berpotensi mereduksi peran parpol, terciptanya kontestasi antarkandidat di internal partai, dan membuka ruang politik uang serta yg paling santer dikeluhkan adalah cost politiknya juga sangat tinggi,” lanjut dia.