LEGISLATIF

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka 2024, Rany: Untungkan Caleg Perempuan

0
Sekretaris Komisi A DPRD DIY, Rany Widayati.

Berita Golkar – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 akan menggunakan sistem proporsional terbuka.

Artinya, masyarakat bisa memilih langsung calon legislatif yang ada di surat suara.

Calon anggota legislatif (caleg) juga bisa bersaing dengan calon lain dalam memperoleh suara dari konstituen agar dapat memperoleh kursi di lembaga perwakilan.

Sekretaris Komisi A DPRD DIY, Rany Widayati mengapresiasi keputusan MK yang masih mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka.

Sebab, menurut dia, sistem proporsional tertutup maupun terbuka terbatas bisa merugikan caleg perempuan.

“Saya sebagai orang yang berkecimpung di politik praktis, saya memilih sistem pemilu terbuka. Saya sendiri sudah melewati beberapa sistem pemilu, karena saya sudah menjadi anggota dewan sejak 2024,” ujarnya dalam program Ngobrol Parlemen yang bertajuk Bagaimana Kajian Sistem Proporsional Terbuka Pemilu 2024?.

Program tersebut ditayangkan di YouTube dan Facebook Tribun Jogja Official, Kamis (22/6/2023).

Dia melanjutkan, sistem proporsional tertutup sama halnya dengan memilih kucing dalam karung, sebuah kiasan yang menunjukkan Anda membeli barang tanpa tahu isi dalamnya.

“Kalau sistem proporsional tertutup itu, yang punya nama caleg partai, seperti zaman dulu. Kalau kita buka kertas suara, maka yang dipilih adalah partainya dan itu berlaku di pemilu seluruh provinsi,” terang dia.

Baca Juga :  Tingkatkan Daya Saing Digital, Menko Airlangga: Teknologi, Future Readiness, & Knowledge Perlu Didorong

Kemudian, di kalangan internal partai, akan ada pemilihan caleg yang paling potensial duduk di lembaga perwakilan.

Mereka yang paling potensial biasanya adalah tokoh masyarakat dan anggota yang terkenal di partai.

“Intinya, kita tidak bisa memilih siapa yang akan mewakili kita di dewan. Aspirasi diserahkan ke partai. Di sini, partai yang lebih berkuasa,” jelas Rany yang merupakan politisi Partai Golkar itu.

Ia mengakui, adanya sistem pemilu terbuka ini menguntungkan caleg perempuan.

“Sistem pemilu tertutup ini merugikan perempuan. Caleg perempuan jarang ditempatkan di nomor satu, pasti (di peringkat) bawah-bawah oleh partai. Jadi, belum tentu bisa lolos,” terangnya.

Rany mengatakan, di sistem pemilu terbuka terbatas juga tidak selalu menguntungkan perempuan.

Di sistem itu, masyarakat akan memilih caleg yang sudah dibagi-bagi sesuai dengan hasil musyawarah internal partai.

Dicontohkannya, jika ia merupakan nomor urut tiga dalam pemilihan internal partai dan mendapatkan sekian suara, ia belum tentu terpilih maju menjadi anggota dewan.

“Misal, saya nomor tiga, kemudian perolehan suara saya lebih tinggi dari nomor empat, dan kursi yang diperoleh adalah tiga. Maka, saya belum masuk karena yang masuk ya yang nomor 1-3,” beber dia.

Baca Juga :  Legislator Golkar Menyerahkan Sertifikasi kepada 113 Penambang Pompong Penyengat

Dengan sistem seperti itu, perempuan sulit bersaing dengan caleg laki-laki lantaran sejak awal sudah ditempatkan di nomor bawah.

Rany pun menilai, sistem pemilu terbuka ini cukup adil karena murni persaingan antarcaleg.

Apalagi, masyarakat juga tahu persis, bagaimana sosok caleg yang dipilih dan tidak melihat apa partainya.

“Masyarakat bisa melihat ke sosoknya, bukan hanya partainya saja. Kami sebagai perempuan juga bisa berkompetisi dengan caleg lain, tidak kalah,” tukas dia.

Sementara, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU DIY, Moh Zaenuri Ikhsan juga merasa lega MK sudah memutuskan sistem pemilu yang bakal digunakan adalah proporsional terbuka.

Hal ini karena proses di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah dimulai dan akan merepotkan jika di tengah jalan berganti sistem pemilihan.

“Sistem pemilu terbuka dan tertutup itu beda, mulai dari proses pencalonan sampai konversi suaranya,” buka dia dalam program Ngobrol Parlemen.

Ia menuturkan, sesuai regulasi, proses pencalonan sudah terpenuhi, termasuk adanya caleg perempuan dan penomoran urut.

Apabila pada saat itu MK memutuskan sistem pemilu akan tertutup, maka muncul perubahan signifikan lantaran semuanya berubah total.

“Kemungkinan besar, partai akan mengubah susunan, ada perubahan dan ini bakal merepotkan KPU juga. Kalau berubah nama, persyaratan akan mengikuti, potensi tidak puas dan muncul gugatan yang diprediksi banyak,” pungkas dia.